Rabu, 14 Juli 2010

Batu Wolio

Oleh : Bardin, S.Pd

Batu YigandangiTak Sampai di Buton Jika Tak Sentuh Batu Wolio. Itulah sebutan warga disana. Batu Wolio, sebuah situs budaya peninggalan masa kesultanan Buton. Terletak di tengah kawasan Benteng Keraton di kelurahan Melai kecamatan Murhum kota Bau Bau.

Tepatnya di sebelah timur Masjid Agung Keraton Buton. Jaraknya sekitar 3 km dari pusat kota, akses kesana sangat mudah, menggunakan Ojek, tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam.

Cukup dengan Rp 3000, kita sudah sampai ditujuan. Batu ini, menurut seorang budayawan Buton Hazirun Kudus, diperkirakan ditemukan pada tahun 1343 Masehi.

Dengan alasan, pendaratan pertama ekspedisi Kerajaan Majapahit di Sulawesi pada tahun 1342 Masehi. Sebagai realisasi sumpah palapa tahun 1337 M.

Berdasarkan mitos yang berkembang, ditempat inilah dulu diketemukannya putri Wakaaka, oleh seorang eks-panglima Kubilai khan Dungku Cangiang. Tepatnya di dalam sebuah rumpun bambu tolang, dimana masyarakat setempat menyebutnya bambu tombula.

Hazirun menuturkan, berdasarkan ilmu pengetahuan, batu wolio merupakan sebuah linggah, tempat pertirtaan atau pengambilan air suci.

“Jika berbicara mengenai linggah, maka erat kaitannya dengan keberadaan Agama Hindu yang pernah dianut masyarakat Buton sebelum masuknya ajaran agama islam yang dibawa Syekh Abdul Wahid. Ajaran Hindu tersebut berasal dari Siwa Jawa sebagai upaya perluasan wilayah oleh Kerajaan Majapahit yang senantiasa dibarengi penyebaran Agama Hindu,” katanya.

Batu wolio diriwayatkan dalam lembar sejarah Buton merupakan sebuah tugu batu setinggi satu meter yang digunakan sebagai tempat pengambilan air suci untuk dimandikan kepada calon Raja/Sultan Buton sebelum dilantik. Air di batu tersebut, berasal dari mata air di Tobe-tobe.

“Sultan dilantik hari Jumat. Namun satu hari sebelumnya, tepatnya Kamis sore, empat orang Bonto Siolimbona mengambil air di Tobe-tobe dan disimpan dalam wadah bambu sebanyak delapan ruas. Air tersebut kemudian ditumpah di Batu wolio,” Sambung Hazirun.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Seksi Permuseuman, Budaya, dan Purbakala, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Laode Hafilu. Batu Wolio biasa disebut batu Igandangi.

Sebab, setelah air yang diambil dari mata air di Tobe-tobe itu, ditempatkan di Batu, kemudian diadakan acara pemukulan gendang.

“Pemukulan gendang dilakukan selama satu malam atau 12 jam, dimulai pada Kamis sore pukul 18.00 Wita hingga Jumat pagi pukul 06.00 Wita. Oleh sebab itu maka disebut Batu Igandangi,” tegas Hafilu.

Nilai filosifis dengan memandikan calon Sultan, tutur Hafilu, yakni kejadian manusia berasal dari setitik air kemudian menjadi seorang manusia.

“Proses pelantikan Sultan, proses kejadian manusia dari setitik air,” sambungnya.

Hazirun menambahkan, sebelum Salat Jumat dimulai, air di batu igandangi itu, kemudian diambil untuk dicampurkan dengan air mandi calon Sultan. Pelantikan sultan dilakukan di dalam Masjid Agung Keraton Buton dan di Batu Popaua.

“Di dalam mesjid dilantik oleh dua orang keturunan Nabi yang masih ada di Buton berdasarkan ajaran islam, sedangkan pelantikan di Batu Popaua dilakukan secara adat Kesultanan Buton,” tambahnya.

Hal ini dibenarkan Laode Hafilu, Sultan dilantik di dalam Masjid, kemudian diambil sumpahnya di Batu Popaua atau batu tempat pemutaran payung kerajaan/kesultanan.

“Yang melantik sultan yakni empat Bonto sebagai mangaama (bapak), sedangkan sultan sebagai mangaana (anak),” papar Hafilu.

Adapun prosedur pengambilan sumpah sultan secara adat kesultanan yakni pertama memasukan kaki kanan sultan ke dalam lubang batu Popaua dengan posisi tubuh menghadap ke timur dan diputarkan payung kerajaan/kesultanan sebanyak sembilan kali kemudian kaki kanan diangkat, selanjutnya digantikan kaki kiri, tubuh menghadap ke Barat dan diputarkan payung delapan kali.

Tujuannya, agar meminta sesuatu yang baik dari arah timur dan membuang hal buruk di arah Barat. Untuk diketahui, payung kerajaan tersebut berwarna kuning disebut payung lumbu-lumbu (hewan laut ubur-ubur) karena bentuknya menyerupai ubur-ubur yang mempunyai banyak tentakel.

Duplikat payung dapat dilihat di Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Bau-bau. Dari pengamatan, kini Batu Wolio telah dipugar dan dijaga dua orang warga Kelurahan Melai yakni Nursiah dan Lia.

“Kami telah menjaganya selama 15 tahun. Setiap hari kami kesini, berangkat dari rumah 08.00 Wita dan pulang pukul 17.30 Wita. Yang kami lakukan biasanya menyapu dan membersihkan tempat ini, ” tutur Nursiah.

Sebagai informasi, oleh karena sangat bertuahnya Batu Wolio ini diceritakan wisatawan yang berkunjung di Baubau dan belum ke tempat ini, maka dikatakan mereka belum pernah ke Buton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar