Selasa, 03 Agustus 2010

IMAM MUSA AL KAZIM

Imam Mûsa al-Kâzim As

Adik-adik dan remaja tercinta

Adik-adik, dalam kehidupan dunia ini, kita memerlukan teladan dari yang berakhlak agung dan mulia, sehingga dengan keteladanan dari mereka, kita dapat meniru akhlak luhur mereka. Para pemimpin agama dan para Imam Ahlul Bait As adalah contoh dan teladan bagi kita semua. Oleh karena itu, kami telah membuat penelitian perihal kehidupan mereka, dengan maksud untuk memperkenalkan kepada adik-adik akan kehidupan mereka. Dan semaksimal mungkin kami telah menyusun buku-buku ihwal kehidupan mereka dengan bahasa sederhana sehingga dapat dipahami dengan mudah.
Kumpulan kisah manusia-manusia suci ini disusun seringkas mungkin dengan tidak melupakan keabsahan kisah-kisah teladan Imam Ahlul Bait itu.
Para ahli sejarah Islâm telah mengkajinya secara serius dan mereka mendukung adanya penyusunan buku ini.
Kami berharap, adik-adik sekalian sudi mengkajinya secara serius pula. Hasil dari pelajaran ini, kami meminta kepada adik-adik untuk dapat menyampaikan kesan dan pandangannya.
Kami sangat berterima kasih atas perhatian adik-adik. Dan semoga adik-adik mau bersabar menantikan edisi-edisi selanjutnya.

Wilâdah

Imam Mûsa Kâzim lahir pada hari Ahad, bertepatan dengan tanggal 7 Safar tahun 120 H, di sebuah lembah yang bernama "Abwa". Lembah ini terletak diantara kota Mekah dan kota Madinah. Ibunda Imam Mûsa al-Kâzim As bernama Hamida. Imam Mûsa al-Kâzim mencapai Imamah pada usia 21 tahun.
Abû Basîr berkata: " Kami bersama Imam Ja'far melakukan safar ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Tidak lama setelah tiba di sebuah tempat yang dikenal dengan Abwa dan setelah menyantap sarapan pagi , Imam mendapat kabar bahwa Allâh Swt telah menganugerahinya seorang putra.
Dengan suka-cita dan gembira-ria Imam Ja'far segera menemui Hâmida, istrinya. Tidak lama kemudian, beliau kembali dengan wajah sumringah berkata: Allâh Swt telah menganugerahkan seorang anak kepadaku. Kelahiran putraku merupakan anugerah terbaik dari- Nya.
Ibundanya bercerita bahwa ketika putranya lahir, ia melakukan sujud dan memanjatkan rasa syukurnya kepada Allâh Swt. Perbuatan ini merupakan tanda dari Imamah beliau. Saat Imam Shâdîq tiba di Madinah, beliau menghidangkan jamuan makan selama tiga hari dan mengundang orang-orang yang tertimpa kesusahan dan orang-orang miskin.
Ya'qub Sirâj berkata: "Aku mengunjungi Imam Sâdiq As di Madinah. Saya melihatnya berdiri di dekat ayunan putranya , Mûsa al-Kâzim As. Aku mengucapkan salam kepada beliau dan beliau dengan tatapan yang cerah menjawab salamku tersebut. Lalu beliau berkata "Mari mendekat kepada Imam dan sampaikan salam padanya. Aku mendekatinya dan menyampaikan salam. Imam Ja'far berkata: "Allâh Swt telah menanugerahimu seorang putri dan engkau telah memberinya nama yang kurang pantas untuknya. Pergilah dan ganti namanya. Ibunda Imam Mûsa Al Kâzim As adalah seorang kaniza (budak) yang dibeli oleh Imam Ja'far. Namun, meskipun demikian beliau telah mendapatkan pengajaran ilmu dari Imam Ja'far Sâdiq As, yang menjadikannya seseorang yang memiliki keluasan ilmu dan kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sehingga kadang-kadang Imam Ja'far meminta para wanita untuk bertanya masalah-masalah agama kepadanya.

Periode kehidupan Imam Mûsa al-Kâzim As dapat dibagi menjadi 2 bagian:

1. Kehidupan Imam bersama ayahandanya di Madinah yang berlangsung selama 20 tahun. Periode ini berlangsung sebelum beliau mencapai Imamah.

2. Masa-masa awal perlawanan, pemenjaraan dan pengasingan yang menimpa kehidupan Imam.

Akhlak Mulia Sang Imam

Meskipun postur tubuh Imam As ramping dan kurus, namun beliau memiliki jiwa yang kuat. Baju dalam beliau terbuat dari bahan kain kasar. Beliau kadang-kadang berjalan kaki di tengah keramaian penduduk, menyampaikan salam pada mereka , mencintai keluarganya dan menghormati mereka. Imam Mûsa al-Kâzim adalah orang yang peduli dan sangat perhatian terhadap kehidupan fakir miskin dan orang-orang yang tertimpa musibah. Pada malam hari, beliau memikul makanan di pundaknya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh mereka tentang keberadaan beliau. Bahkan setiap bulannya, Imam memberikan gaji kepada beberapa orang diantara mereka.
Salah seorang sahabat Imam berceritera tentang ketabahan dan kesabaran sang Imam. Ia berkata: " Musuh-musuhnya kadang-kadang merasa malu dan berkecil hati atas akhlâqul karîmah yang ditunjukkan oleh Imam". Suatu waktu, seseorang yang bermukim di Madinah , ketika ia melihat Imam, ia memintanya untuk berhenti dan kemudian menyampaikan kata-kata kasar yang berisi makian terhadap Imam. Para sahabat Imam berkata: "Izinkan kami untuk menghajarnya, wahai Imam". Imam berkata: " Biarkanlah jangan kalian ganggu ". Beberapa hari kemudian, tidak ada berita tentang orang tersebut. Imam menanyakan tentang kesehatan orang itu. Para penduduk berkata bahwa ia pergi ke ladangnya untuk bercocok tanam yang letaknya di luar kota Madinah. Mendengar kabar tersebut, Imam segera menunggangi kudanya dan bergerak menuju ke ladang orang tersebut. Ketika orang itu melihat kedatangan Imam, ia berteriak dengan lantang dari kejauhan. Ia berkata: " Jangan anda masuk ke ladangku. Aku adalah musuhmu dan musuh datuk-datukmu. Imam mendekatinya, menyampaikan salam menanyakan tentang kesehatan dan kesejahteraan hidup orang tersebut. Imam dengan ramah bertanya: " Berapa Dinar yang anda habiskan untuk biaya ladangmu ini? ". Ia menjawab: " Seratus Dinar." Imam bertanya lagi: " Berapa banyak keuntungan yang anda harapkan dari semua ini? ". Orang itu berkata: " Dua ratus Dinar ". Mendengar jawaban ini, Imam mengambil sekantong tas yang berisi uang tiga ratus Dinar dan memberikannya pada orang tersebut. Imam berkata: " Ambillah uang ini dan ladang ini juga tetap menjadi kepunyaanmu".
Orang yang selama ini berlaku kurang ajar dan kasar pada Imam itu, tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti itu dari Imam. Ketika Imam ingin bertolak kembali ke Madinah, Imam Bersabda: " Lepaskan amarahmu dengan cara seperti ini". (tetap menunjukkan Akhlak al-karimah, -penj). Al-Kâzim berarti orang yang mampu mengontrol amarahnya ketika mendapat gangguan dan membalasnya dengan kebaikan dan penghormatan. Perbuatan mulia ini telah membuat musuh-musuhnya menjadi sangat malu.
Telah menjadi kebiasaan Imam menunjukkan cinta kasih dan kehangatannya kepada kerabat beliau. Beliau berkata: " Apabila terdapat permusuhan yang terjadi diantara kerabat, jika mereka saling berjabat tangan erat ketika mereka berjumpa, maka permusuhan itu akan pergi dan sesama mereka akan saling senang satu sama lainnya dan bergembira.

Sikap Pemurah Imam

Imam masyhur dan dikenal diantara para penduduk akan kemurahan dan keramahannya yang ada pada beliau, seperti perbuatan Imam membebaskan seribu budak. Dan bantuan Imam kepada mereka yang dalam kesulitan dan terhimpit masalah hidup serta membayarkan utang-utang orang-orang yang terlilit utang.
Ibn Shar Ashâb menukilkan bahwa suatu hari " Khalifah Mansûr" mengundang Imam ke istananya dan meminta beliau untuk duduk di singgasana Khalifah pada hari tahun baru dan membawa hadiah-hadiah yang dibawa oleh para tetamu untuk dapat dimanfaatkan oleh Imam. Meskipun Imam tidak begitu tertarik untuk memenuhi undangan itu, namun beliau dengan terpaksa menerimanya. Beliau duduk di singgasana itu. Atas perintah Khalifah Mansûr para punggawa kerajaan, aristokrat dan para pembesar yang ikut dalam acara resmi tersebut, menyerahkan hadiah-hadiah yang mereka bawa kepada Imam As. Mansûr memerintahkan kepada salah seorang pelayannya untuk mencatat dan merekam secara detail jumlah hadiah itu dan menyiapkan perlengkapannya untuk diangkut oleh Imam. Di ujung acara itu, seseorang yang berusia lanjut datang dan berkata: " Wahai putra Rasulullâh, aku tidak memiliki sesuatu pun untuk aku serahkan kepadamu, akan tetapi aku memiliki beberapa sajak yang berhubungan dengan duka dan nestapa yang menimpa datukmu Imam Husain As, yang dapat aku persembahkan padamu, wahai Imam".
Orang itu kemudian mendeklamasikan sajaknya di depan Imam dan meninggalkan kesan yang sangat luar biasa dalam diri sang Imam. Beliau meminta pengawal Mansûr untuk pergi menjumpai Mansûr dan menanyakan tentang apa yang harus dilakukan dengan hadiah-hadiah tersebut. Pengawal tersebut beranjak menjumpai Mansûr dan setelah kembali, ia mengatakan bahwa: "Raja Hârun berkata: "Aku serahkan seluruh hadiah ini kepadamu. Anda bisa serahkan kepada siapa saja yang anda kehendaki.
Pandangan Imam jatuh kepada orang tua tadi, lalu beliau berkata: " Untuk syair yang telah anda deklamasikan sehubungan dengan nestapa dan bencana yang menimpa datukku, aku anugerahkan hadiah ini untukmu sehingga dengannya anda akan terbebas dari kemiskinan dan penderitaan.

Perjuangan Imam dalam Menghadapi Hidup

Imam Mûsa bercocok tanam di ladang yang menjadi kekayaan pribadi beliau dan dari hasil cocok tanam itu, Imam membelanjakannya untuk keperluan hidup sehari-hari. Kadang-kadang, karena kerja keras membuat seluruh badan beliau penuh dengan peluh.
Suatu hari, salah seorang sahabat Imam yang bernama "''Ali Batâinî" - yang memiliki hubungan kerja dengan Imam - datang mengunjungi beliau di ladangnya. Ketika ia melihat Imam dalam kesulitan dan kesusahan, ia pun menjadi sedih dan berkata: " Semoga jiwaku menjadi tebusanmu, wahai Imam, mengapa anda tidak membiarkan orang lain untuk melakukan pekerjaan ini.
Imam berkata: " Mengapa aku harus memikulkan pekerjaan ini ke pundak orang lain sementara mereka lebih baik dalam melakukan pekerjaan ini dari pada aku" . Aku bertanya: " Siapakah mereka itu " ?
Imam berkata: " Rasulullâh Saw, Amirul mukminin ''Ali As, ayahandaku dan datukku." Kerja dan payah adalah sunah para nabi, sunnah para awsiya Allâh, para hambanya yang sholeh, mereka ini senantiasa bekerja dan bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dengan hasil kerja yang mereka dapatkan.

Metode Dakwah dan Bimbingan Imam

Suatu ketika Imam melintasi sebuah jalan. Denting suara musik dan dendang lagu terdengar hingga keluar rumah. Pemilik rumah tersebut adalah seorang yang memiliki kedudukan terhormat, telah membangun sebuah tempat untuk bersenang-senang dan membuat ia bergembira ria. Tiba-tiba seorang budak keluar dari rumah itu untuk membuang sampah di sudut jalan. Secara kebetulan, ia melihat Imam dan berdiri terdiam. Lalu, ia memberikan salam kepada Imam.
Sang Imam bertanya padanya: " Apakah pemilik rumah ini adalah seorang hamba atau seorang merdeka"?
Ia menjawab : " Seorang yang merdeka."
Imam berkata lagi : Ya. Jelas dan terang bahwa ia adalah seorang yang merdeka. Jika ia seorang hamba, maka ia pasti memiliki rasa takut kepada Allâh Swt dan tidak akan mengerjakan perbuatan sia-sia ini.
Budak itu memasuki rumahnya kembali dan ketika tuannya bertanya mengapa ia datang terlambat. Ia menceritakan kisah perjumpaannya dengan Imam dan perkataan beliau.
Orang itu sejenak berpikir dan merenungi perkataan Imam As itu. Tiba-tiba ia bangkit dari tempat duduknya dan dengan kaki telanjang ia berlari menyusul Imam dari belakang hingga berjumpa dengan beliau. Orang itu memberikan salam kepada Imam dan menyampaikan penyesalannya kepada Imam As.
Sejak saat itu, ia merubah pusat hiburan itu menjadi tempat peribadatan dan peringatan kenangan setiap hari ia berjalan dengan kaki telanjang. Orang ini kemudian dikenal dengan nama " Bushri Hâfî " yang berarti Si Bushri yang datang dengan kaki telanjang.

Kezuhudan dan Ibâdah Imam Mûsa As

Imam As sangat terkenal dengan kezuhudan dan ibadahnya sehingga di mana pun orang bercerita tentang beliau, mereka berkata " Beliau adalah seorang pecinta ibadah dan ahli taat." Syaikh Mufid menulis tentang beliau, " Beliau adalah orang yang paling shaleh dan bertakwa pada zamannya. Pada malam harinya, beliau larut dalam salât dan bilamana beliau melaksanakan sujud beliau memanjangkannya dan air matanya luruh sehingga janggut beliau basah dengan air mata.
Syablanjî, seorang ulama Sunnî menulis tentang beliau, " Imam Mûsa Kâzim As adalah orang yang paling bertaqwa dan zuhud pada zamannya. Beliau sangat arif, bijaksana, pemurah dan pengasih kepada siapa saja. Beliau membantu dan merawat orang-orang malang dan banyak waktunya dihabiskan untuk sibuk mengerjakan ibadah tanpa diketahui oleh orang banyak. Beliau berkata : " Yâ Allâh jadikan kematian mudah untukku dan ampuni dosa-dosaku sewaktu aku dihadapkan pada-Mu kelak dihari kiamat.
Beliau merupakan seorang pecinta Tuhan sejati sehingga membuat orang-orang menjadi takjub dan keheranan. Sedemikian rupa, sehingga ia pernah membuat Fadal si kepala penjara ikut menangis. Pembantu khusus Hârun , yang diutus ke penjara dengan misi untuk menarik perhatian dan menggoda Imam Mûsa As sehingga beliau tertarik kepadanya dan dengan demikian Hârun memiliki alasan untuk menghukum Imam, sangat terpukau oleh perangai Imam di dalam penjara sehingga ia kembali dalam keadaan menangis dan menyatakan keberatan atas keputusan Hârun memenjarakan Imam Mûsa As.

Tragedi Fakh

Husain bin 'Ali salah seorang Alawi dari Madinah atas perintah Imam Mûsa Kâzim As memberontak terhadap Hâdî yang menjadi Khalifah Dinasti Abbâsiyah ketika itu. Ia beserta dengan tiga ribu pasukan bangkit melawan pemerintahan Abbâsiyah karena tekanan dan kebrutalan, kedzâliman mereka terhadap anak-anak 'Ali As.
Akhirnya, serdadu Hâdî berhasil mengepung mereka di tanah Fakh dan melakukan pembunuhan massal di tempat itu, dengan memenggal kepala mereka. Kepala-kepala yang terpenggal itu dan para tawanan perang dibawa kehadapan Hâdî. Hâdî memberi perintah kepada algojonya untuk membunuh para tawanan itu. Kejadian ini dikenal dalam sejarah sebagai tragedi Fakh dan pejuang 'Alawî ini dikenal dengan " Husain ", syuhâda Fakh.

Hijrah Pertama Imam ke Baghdad

Mansûr dibunuh pada tahun 158 Hijriah dan anaknya "Mahdi" naik takhta sebagai Khalifah baru menggantikan ayahnya. Ia memberlakukan siasat-siasat keji kepada masyarakat. Ia mendandani dirinya dan bertingkah seakan-akan seorang yang taat beragama di hadapan masyarakat tetapi dibelakang masyarakat ia senantiasa berbuat dosa. Ketika ia memegang kekuasaan, Khalifah Mahdi membebaskan para tahanan politik diantaranya Imam Mûsa, dan mengembalikan harta yang dirampas dari tangan mereka. Akan tetapi, ia juga memberikan hadiah yang besar kepada para pujangga yang memaki dan melaknat keluarga 'Ali As. Seperti ketika ia memberikan hadiah tujuh puluh ribu Dirham kepada " Busyâr bin Burd " dan seratus ribu Dirham kepada Marwân berkat syair-syair mereka berisikan laknat dan makian terhadap keluarga 'Ali As.
Ia menghabiskan uang Baitul Mal (harta kaum muslimin) untuk berfoya-foya dan bersenang-senang, sebagaimana ketika ia habiskan lima puluh lima juta Dirham untuk pesta pernikahan putranya.
Suatu ketika, mata-matanya menyampaikan tentang popularitas Imam dan kecendrungan masyarakat terhadap beliau. Hâdî, mendengar berita itu, benar-benar geram dan dengan segera ia memerintahkan orang-orang setianya untuk mengirim Imam dari Madinah ke Baghdad dan memenjarakannya di sana.
Abû Khâlid berkata, suatu hari Imam disertai dengan pasukan resmi kerajaan tiba di rumahku di " Zubâla ". Imam, dalam waktu yang singkat itu, menghindar dari penjagaan pasukan kerajaan itu, dan beliau memintaku untuk membelikan beberapa barang. Aku sangat bersedih dan menangis melihat keadaan Imam seperti itu. Imam berkata padaku, " Jangan risaukan aku karena aku akan segera kembali, dan nantikan aku hingga hari itu, di tempat itu."
Aku persembahkan diriku atas apa yang telah Imam perintahkan kepadaku dan aku melihat beliau memimpin karavan tersebut. Aku cukup bergembira dan maju ke depan dan mencium Imam. Beliau berkata, " Wahai Abû Khâlid mereka akan membawaku kembali ke Baghdad dan aku tidak akan kembali dari perjalanan itu.
Ketika aku mencari tahu alasan mengapa Imam dibebaskan, aku menjadi tahu bahwa Mahdî melihat Imam 'Ali As dalam mimpinya, pada malam yang sama. Ia dalam mimpinya melihat Imam 'Ali dengan tatapan marah dan murka memberi peringatan dan teguran padanya. Pada pagi harinya karena ketakutan ia pun melepaskan Imam dan mengirimnya kembali ke Madinah dengan pengormatan dan kemuliaan.
Meskipun keadaan yang mencekik dan menyiksa di Madinah, Imam tetap sibuk membimbing dan menuntun umat yang bermukim di kota itu. Tidak lama berselang, Mahdî meninggal dunia dan anaknya Hâdî naik takhta menggantikannya sebagai Khalifah. Hâdî - berbeda dengan ayahnya - ia tidak mengamalkan perbuatan sembunyi-sembunyi, dan sangat jelas dan terbuka memulai perlawanannya melawan anak keturunan Imam 'Ali As. Perbuatannya yang paling memalukan adalah pembantaiannya terhadap anak keturunan 'Ali As yang dinamakan dengan tragedi " Fakh " dan oleh ahli sejarah dipandang sebagai tragedi kedua dalam sejarah setelah tragedi Karbâlâ.
Hâdî adalah orang yang berlumuran dosa, berperangai jahat dan tidak memiliki kelayakan untuk menduduki jabatan sebagai Kh'Alifah. Ia menghabiskan uang secara serampangan untuk berpoya-poya dan bersenang-senang dan memberikan hadiah yang melimpah kepada mereka yang membacakan syair dan yang mendendangkan lagu untuknya.
Hâdî wafat pada tahun 170 Hijriah dan " Hârun " yang menggantikan kedudukannya sebagai Khalifah. Ketika itu Imam telah berusia 42 tahun. Zaman " Hârun " merupakan zaman terakhir kekuasaan Dinasti Abbâsiyah. Hârun, setelah baiat dan orang-orang yang loyal dengan baiat itu, melantik " Yahyâ Barmakî" - yang merupakan orang Iran - sebagai menterinya dan memberikan wewenang yang penuh padanya. Hârun sendiri menyibukkan dirinya menggelapkan harta Baitul Mal yang ketika itu kantong kas Baitul Mal sedang gemuk, banyak pemasukan.
Ia menghabiskan seluruhnya dengan berlebih-lebihan untuk berfoya-foya dan bersenang-senang - sedemikian rupa - hingga pembelanjaan suatu acara makan menghabiskan biaya sebesar empat ribu Dirham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar