Selasa, 03 Agustus 2010

KISAH TERBUNUHNYA HUSAIN BIN ALI

artikel 1
------------------------------------

(dinukil dari "Sejarah: Pertumbuhan dan Perkembangan Syi'ah",
Dr. Ihsan Ilahi Zhahier, Al-Ma'arif Bandung, secara ringkas)

Ketika Mu'awiyah wafat, para warga Kufa *) menulis kepada Husain,

"Kami telah mengurung diri kami, demi membai'at anda. Kami hidup
dan mati dalam mempertahankan bai'at kami. Maka selam ini kami
tidak menghadiri shalat Jum'at, maupun shalat jama'ah."
( "Murujudz-dzahab", jilid III/54, Al-Mas'usi, sejarawan Syi'ah)

*)Kufa adalah sebaik-baik negeri, yang pernah menjadi pusat dan
tanah yang subur bagi kegiatan kaum Syi'ah, sehingga merka
mengatakan, "Adapun Kufa dan sleuruh daerahnya, di sanalah tempat
Syi'ah Ali bin Abi Thalib...." (Uyunul-akhbar, Arridha, dinukil
dari kitab "Syi'ah dalam sejarah").
Diriwayatkan dari Ja'far bahwasanya ia berkata, "Allah, telah
menawarkan kesetiaan terhadap kita kepada rakyat-rakyat dari
beberapa negeri. Tiada satu negeri pun yang rakyatnya menerima
baik tawaran Allah itu, kecuali warga Kufa." (dikutip dari kitab
"Bahsairud-darajat", bagian kesepuluh)

Telah sampai pula kepada Husain surat-surat lain, yang isinya
antara lain, "Kebun-kebun telah menghijau dan buah-buahan telah
masak. Bila anda suka, datanglah dengan membawa pasukan yang
kuat." (Dari kitab "A'lamul-wara", oleh Ath-Thabrasi, hal. 223 dan
kitab Al-Irsyad, hal. 220, karangan Al-Mufid).

Ketika surat-surat dari Kufa itu berturut-turut, serta banyak
sekali datang kepadanya, dan dalam pada itu warga Kufa dengan
keras sekali meminta kedatangannya, maka ia mengutus Muslim bin
Aqil bin Abi Thalib ke Kufa, dengan membawa suratnya, yang di
dalamnya ia memberitahu mereka bahwa ia segera berangkat (menuju
Kufa), sesampai suratnya itu kepada mereka. Ketika Muslim tipa di
Kufa, warga Kufa berkumpul menemui Muslim, dan menytakan sumpah
setia mereka kepada Husain, serta memberikan kepadanya janji yang
sungguh-sungguh untuk membela dan mendukungnya, serta tetap setia
kepadanya. (Tarikh Al-Ya'qubi, II/242)

Al-Mufid menambahkan, "Warga Kufa memba'iatnya dengan menangis.
Jumlah mereka lebih dari delapan belas ribu orang." (Al-Irsyad,
220)

Husain bersiap-siap untuk berangkat ke Kufa. Ibnu Abbas, panglima
pasukan Ali dan sekaligus penasehat pribadinya, lagi pula seorang
yang penuh pengalaman dan mengetahui dengan benar-benar watak
kaum Syi'ah pada zamannya, datang kepada Husain dan memberi
nasehat agar mengurungkan niatnya pergi ke Kufa, karena warganya
yang suka berkhianat. Lihat pesan Ibnu Abbas dalam Murujudz-
dzahab, III/55. Demikian pula nasehat Ibnu Abbas didukung oleh
Abu Bakar bin Hisyam yang dikutip oelh Al-mas'udi dalam Murujudz-
dzahab, III/56)

Berita kedatangan Muslim bin Aqil di Kufa sampai kepada Yazid bin
Mu'awiyah. Dan ia menulis kepada Ubaidillah bin Zayyad dan
menyampaikan keputusan pengangkatannya sebagai Wali Kufa.

Tidak akan diceritakan di sini apa yang terjadi secara
lengkapnya, tentang terbunuhnya Muslim bin Aqil, Hani bin Urwah
dan Abdullah bin Yaqthur.

Berita kematian tiga orang ini sampai kepada Husain bin Ali
ketika berjumpa dengan Al-hurr bin Yazid Attamimi ketika sampai
di kota Qadisiah, dalam perjalanannya ke Kufa.

Kemudian Husain berkhutbah di hadapan pengikut-pengikutnya,

"Amma ba'du, telah sampai kepada kami berita yang amat dahsyat,
yaitu terbunuhnya Muslim bin Aqil, Hani bin Urwah dan Abullah bin
Yaqthur. Syi'ah kami (di Kufa) telah mengkhianati kami. Oleh sebab
itu, barangsiapa di atnara kalian ingin meninggalkan kami,
silahkan pergi, tanpa keberatan (dari pihak kami) dan tanpa
kehilangan kehormatan (dari pihak kalian)"

Maka berpencaranlah pengikut-pengikut Husain, meninggalkannya.
Mereka pergi ke jurusan kanan dan kiri; maka yang tingal bersama
Husain hanya orang-orang yang berangkat bersama dia dari Madinah,
dan sekelompok kecil orang yang bergabung kepadanya....

....

Husain kemudian berangkat menuju Kufa. Di tengah jalan ia
berjumpa dengan salah seorang warga Kufa. Ia memberitahu Husain
mengenai pengkhianatan, keengganan dan kelicikan orang-orang
Kufa. Orang itu berkata, "Di Kufa anda tidak mempunyai pembela dan
pendukung; bahkan kami khawatir bahwa mereka akan bangkit
memerangi anda."

Ketika Husain melihat bahwa lasykar Kufa dan pengikut-
pengikutinya berpaling darinya dan sikap mereka (terhadapnya)
malahan kebaikan dari apa yang mereka tulis (kepadanya) dan dari
apa yang dikatakan oleh utusan-utusan mereka, bahakan merka
menyangkal apa yang mereka tulis kepadanya, ia berkta kepada
salah seorang pengikutnya,

"Keluarkan dua kantong yang berisi surat-surat mereka, yang mereka
kirimkan kepadaku."

Orang itu mengeluarkan dua kantong yang penuh berisi surat-surat;
lalu Husain membeberkan surat-surat itu. Mereka menyangkal surat-
surat tersebut. Kemudian Husain meneruskan perjalanannya, hingga
mencapai Karbala. Melihat banyaknya pasukan yang menghadapinya,
Husain sadar bahwasanya tiada tempat pelarian baginya. Ia lalu
berdo'a:

"Allahumma, ya Allah. Berilah keputusan antara kami dan suatu kaum
yang mengundang kami, dengan janji membela kami, lalu mereka itu
malahan akan membunuh kami."

Ia kemudian berjuang terus hingga jatuh terbunuh. Semoga rahmat
dan keridhaan Allah dilimpahkan kepadanya. Nyatalah bahwa semua
yang datang di medang perang Karbala, dengan tujuan memeranginya
dan melaksanakan pembunuhan terhadapnya, adalah laskar Kufa,
tiada seorang pun warga Syam yang ikut. (Murujudz-dzahab, III/61)

Al-Ya'qubi, ahli sejarah, yang fanatik kepada aliran Syi'ah
menerangkan,

"Sesudah gerombolan warga Kuga itu membunuh Husain, mereka
merampok kemahnya, menawan kaum wanita, sanak kerabat Husain
yang ikut bersamanya, dan mengangkat mereka ke Kufa. Ketika
wanita-wanita itu memasuki Kufa, kaum wanita Kufa keluar, sambil
meratap dan menangis. Ali bin Husain (yang ikut dalam rombongan
tawanan itu) berkata, "Mereka ini menangisi kami; lalu siapakah
yang membunuh kami?" (Tarikh Al-ya'qubi, I/235)

Inilah yang terjadi pada Husain, demikian pula yang terjadi, baik
pada masa Ali, maupun pada masa Ali dan Hasan serta pada masaa
imam-imam dan pemimpin-pemimpin syi'ah lainnya.

Apa komentar Welhausen, seorang orientalis Jerman, yang
menaruh simpati kepada kaum Syi'ah terhadap peristiwa
terbunuhnya Husain dan sikap orang Syi'ah terhadap Husain.

(dinukil dari "Sejarah: Pertumbuhan dan Perkembangan Gerakan
Syi'ah", Dr. Ihsan Ilahi Zahier, Al-Ma'arif Bandung,
hal. 225-224)

"Sebagian besar warga Kufa tidak mempunyai keinginan membela
Pemerintah (kekuasaan Yazid bin Mu'awiyah), tetapi sekalipun
demikian, mereka tidak bergabung ke pihak-pihak musuh-musuh
Pemerintah; SAMPAI-SAMPAI MEREKA, YANG DAHULUNYA MENGIRIM
SURAT KEPADA HUSAIN; YANG DIDALAMNYA MEREKA MENYATAKAN SUMPAH
SETIA MEREKA TERHADAPNYA, TIDAK BERGABUNG KEPADA TENTARA
HUSAIN MALAH MENINGGALKANNYA DI SAAT-SAAT IA DALAM KEMALANGAN,
mereka tidak mengulurkan tangan untuk memberikan pertolongan
kepadanya. Paling banyak yang mereka lakukan ialah mengamati
pertempuran dari jauh dan menyaksikan (dari jauh pula)
pergolakan terakhir Husain, kemudian (atas kematiannya) mereka
menangisinya. Sedikit sekali dari mereka yang bertekad
mengikuti Husain, seta menemaninya dalam musibahnya. Dari
mereka ini dapt disebutkan antara lain Abu Tsumamah Ash-
Sha'idi, pengawas Baitul-mal, dan Ibnu Usjah. Selain dari
mereka itu, orang-orang yang mengikuti Husain dalam
pergolakannya terdiri atas mereka yang menjumpainya dalam
perjalanannya ke Kufa, kemudian mengikutinya, dan orang-orang
yang yang terdorong oleh rasa kemanusiaan, untuk bergabung
dengannya, pada-pada saat terkahir, sekalipun mereka ini,
sebelumnya, tidak pernah mempunyai hubungan sesuatu pun
dengannya dan tidak termasuk dalam golongan Syi'ahnya. Padahal
ahli sejarah mengungkapkan kontradiksi ini, yakni antara
orang-orang wajib membela (yang memikul kewajiban membela
Husain), tetapi tidak melakukan sesuatu, dan orang-orang
sukarelawan, yang dengan perbutan mereka (membela Husain)
telah membuat malu golongan yang pertama. Para ahli sejarah
terkadang memaparkan peristiwa tersebut secara dramatis. Yang
menarik perhatian ialah, bahwa kaum Anshar juga, jadi bukan
saja kaum Quraisy, telah meninggalkan Husain, tiada seorang
pun dari mereka yang keluar bersama Husain dari Madinah,
sedang dalam kalangan syi'ah kufa terdapat sedikit sekali dari
orang-orang asal anshar. Adapun pemberontakan yang meletus di
Madinah, pada tahun 63 H., bukanlah pemberontakan untuk
membala anak-cucu Ali, hal mana terbukti bahwa Ali bin Husain
berlepas tangan dari pemberontakan itu.

Di samping golongan pengecut dan yang tidak setia itu,
terdapat pula golongan yang merupakan musuh-musuh Syi'ah
dengan terang-terangan; mereka ini adalah pengikut-pengikut
dan pegawai-pegawai Pemerintah Bani Umayah. Perbantahan yang
dilakukan tidak berkisar sekeliling masalah-masalah agama dan
keimanan." (Demikian Welhausen dalam bukunya yang berjudul,
"Kaum Khawarij dan Syi'ah, hal. 134)

------------------------------------
artikel 2
------------------------------------

Al-Hasan dan Al-Husein adalah putera dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhum, cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
dari anak perempuannya Fathimah radhiyallahu 'anha. Mereka termasuk
kalangan ahlul bait Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan mendapat pujian-pujian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya beliau
bersabda:

Sesungguhnya Al-Hasan dan Al-Husein adalah kesayanganku dari dunia.
(HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz VII, hal. 464, hadits 3753 dan
Tirmidzi, Ahmad dari Ibnu Umar)

Juga bersabda:

Al-Hasan dan Al-Husein adalah sayyid (penghulu) para pemuda ahlul
jannah. (HR. Tirmidzi, Hakim, Thabrani, Ahmad dan lain-lain dari Abi
Sa'id al-Khudri; dishahihkan oleh Syaikh AlAlbani dalam Silsilah
Hadits Shahih, hal 423, hadits no. 796 dan beliau berkata hadits ini
diriwayatkan pula dari 10 shahabat)

Riwayat Hidup Al-Husein dan Peristiwa Pembunuhannya

Beliau dilahirkan pada bulan Sya'ban tahun ke-empat Hijriyah.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam men-
tahnik (yakni mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi
dengan digosokkan ke langit-langitnya -pent.), mendoakan dan
menamakannya Al-Husein. Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Katsir
dalam Al-Bidayah wan Nihayah, juz VIII, hal. 152.

Berkata Ibnul Arabi dalam kitabnya Al-Awashim minal
Qawashim: "Disebutkan oleh ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan
dari ahli kufah kepada Al-Husein (setelah meninggalnya Mu'awiyah
radhiyallahu 'anhu). Kemudian Al-Husein mengirim Muslim Ibnu Aqil,
anak pamannya kepada mereka untuk membai'at mereka dan melihat
bagaimana keikutsertaan mereka. Maka Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu
memberitahu beliau (Al-Husein) bahwa mereka dahulu pernah
mengkhianati bapak dan saudaranya. Sedangkan Ibnu Zubair
mengisyaratkan kepadanya agar dia berangkat, maka berangkatlah Al-
Husein. Sebelum sampai beliau di Kufah ternyata Muslim Ibnu Aqil
telah terbunuh dan diserahkan kepadanya oleh orang-orang yang
memanggilnya. "Cukup bagimu ini sebagai peringatan bagi yang mau
mengambil peringatan" (kelihatannya yang dimaksud adalah ucapan Ibnu
Abbas kepada Al-Husein -pent.).

Tetapi beliau radhiyallahu 'anhu tetap melanjutkan perjalanannya
dengan marah karena dien dalam rangka menegakkan al-haq. Bahkan
beliau tidak mendengarkan nasehat orang yang paling alim pada
jamannya yaitu ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dan menyalahi pendapat
syaikh para shahabat yaitu Ibnu Umar. Beliau mengharapkan permulaan
pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan kelurusan dalam kebengkokan
dan mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh ketuaan.

Tidak ada yang sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki pembela-
pembela yang memelihara haknya atau yang bersedia mengorbankan
dirinya untuk membelanya. Akhirnya kita ingin mensucikan bumi dari
khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein, maka datang
kepada kita musibah yang menghilangkan kebahagiaan jaman. (lihat Al-
Awashim minal Qawashim oleh Abu Bakar Ibnul 'Arabi dengan tahqiq dan
ta'liq Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib, hal. 229-232)

Yang dimaksud oleh beliau dengan ucapannya 'Kita ingin mensucikan
bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein' adalah
bahwa niat Al-Husein dengan sebagian kaum muslimin untuk mensucikan
bumi dari khamr Yazid yang hal ini masih merupakan tuduhan-tuduhan
dan tanpa bukti, tetapi hasilnya justru kita menodai bumi dengan
darah Al-Husein yang suci. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh
Muhibbudin Al-Khatib dalam ta'liq-nya terhadap buku Al-Awashim
Minal Qawashim.

Ketika Al-Husein ditahan oleh tentara Yazid, Samardi Al-Jausyan
mendorong Abdullah bin Ziyad untuk membunuhnya. Sedangkan Al-Husein
meminta untuk dihadapkan kepada Yazid atau dibawa ke front untuk
berjihad melawan orang-orang kafir atau kembali ke Mekah. Namun
mereka tetap membunuh Al-Husein dengan dhalim sehingga beliau
meninggal dengan syahid radhiyallahu 'anhu. Inna Lillahi wa Inna
Ilaihi Raji'un.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Al-Husein terbunuh di Karbala
di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya,
sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad di Kufah.
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari
para imam yang lain.

Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah
diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi' (terputus) dan
tidak benar sedikitpun tentangnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat
tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan pengada-adaan riwayat
tersebut. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya
dengan besi dan bahwasanya sebagian para shahabat yang hadir seperti
Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini
adalah pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi
adalah 'Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih
dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat 'Ubaidilah
bin Ziyad. Adapun 'Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah
yang memerintahkan untuk membunuhnya (Husein) dan memerintahkan
untuk membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad
pun dibunuh karena itu.

Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi
seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada
di Iraq ketika itu. Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang
jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan kedustaan
mereka." (Majmu' Fatawa, juz IV, hal. 507-508)

Adapun yang dirajihkan oleh para ulama tentang kepala Al-Husein bin
Ali radhiyallahu 'anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az-
Zubair bin Bukar dalam kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah
seorang yang paling 'alim dan paling tsiqah dalam masalah ini
(tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala Al-Husein
dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang
paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan, paman
ayahnya Al-Abbas dan anak Ali dan yang seperti mereka. (Dalam
sumber yang sama, juz IV, hal. 509)

Demikianlah Al-Husain bin Ali radhiyallahu 'anhuma terbunuh pada
hari Jum'at, pada hari 'Asyura, yaitu pada bulan Muharram tahun 61 H
dalam usia 54 tahun 6 bulan. Semoga Allah merahmati Al-Husein dan
mengampuni seluruh dosadosanya serta menerimanya sebagai syahid.
Dan semoga Allah membalas para pembunuhnya dan mengadzab mereka
dengan adzab yang pedih. Amin.

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Yazid bin Mu'awiyyah

Untuk membahas masalah ini kita nukilkan saja di sini ucapan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah secara lengkap dari Fatawa-nya sebagai
berikut:

Belum terjadi sebelumnya manusia membicarakan masalah Yazid bin
Muawiyyah dan tidak pula membicarakannya termasuk masalah Dien.
Hingga terjadilah setelah itu beberapa perkara, sehingga manusia
melaknat terhadap Yazid bin Muawiyyah, bahkan bisa jadi mereka
menginginkan dengan itu laknat kepada yang lainnya. Sedangkan
kebanyakan Ahlus Sunnah tidak suka melaknat orang tertentu. Kemudian
suatu kaum dari golongan yang ikut mendengar yang demikian meyakini
bahwa Yazid termasuk orang-orang shalih yang besar dan Imam-imam
yang mendapat petunjuk.

Maka golongan yang melampaui batas terhadap Yazid menjadi dua sisi
yang berlawanan:

Sisi pertama, mereka yang mengucapkan bahwa dia kafir zindiq dan
bahwasanya dia telah membunuh salah seorang anak perempuan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, membunuh shahabat-shahabat
Anshar, dan anak-anak mereka pada kejadian Al-Hurrah (pembebasan
Madinah) untuk menebus dendam keluarganya yang dibunuh dalam keadaan
kafir seperti kakek ibunya 'Utbah bin Rab'iah, pamannya Al-Walid dan
selain keduanya. Dan mereka menyebutkan pula bahwa dia terkenal
dengan peminum khamr dan menampakkan maksiat-maksiatnya.

Pada sisi lain, ada yang meyakini bahwa dia (Yazid) adalah imam yang
adil, mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk. Dan dia dari
kalangan shahabat atau pembesar shahabat serta salah seorang dari
wali-wali Allah. Bahkan sebagian dari mereka meyakini bahwa dia
dari kalangan para nabi. Mereka mengucapkan bahwa barangsiapa tidak
berpendapat terhadap Yazid maka Allah akan menghentikan dia dalam
neraka Jahannam. Mereka meriwayatkan dari Syaikh Hasan bin 'Adi bahwa
dia adalah wali yang seperti ini dan seperti itu. Barangsiapa yang
berhenti (tidak mau mengatakan demikian), maka dia berhenti dalam
neraka karena ucapan mereka yang demikian terhadap Yazid. Setelah
zaman Syaikh Hasan bertambahlah perkara-perkara batil dalam bentuk
syair atau prosa. Mereka ghuluw kepada Syaikh Hasan dan Yazid dengan
perkara-perkara yang menyelisihi apa yang ada di atasnya Syaikh 'Adi
yang agung -semoga Allah mensucikan ruhnya-. Karena jalan beliau
sebelumnya adalah baik, belum terdapat bid'ah-bid'ah yang seperti
itu, kemudian mereka mendapatkan bencana dari pihak Rafidlah yang
memusuhi mereka dan kemudian membunuh Syaikh Hasan bin 'Adi sehingga
terjadilah fitnah yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya.

Dua sisi ekstrim terhadap Yazid tersebut menyelishi apa yang
disepakati oleh para ulama dan Ahlul Iman. Karena sesungguhnya Yazid
bin Muawiyyah dilahirkan pada masa khalifah Utsman bin 'Affan
radliallahu 'anhu dan tidak pernah bertemu Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam serta tidak pula termasuk shahabat dengan kesepakatan para
ulama. Dia tidak pula terkenal dalam masalah Dien dan keshalihan.
Dia termasuk kalangan pemuda-pemuda muslim bukan kafir dan bukan pula
zindiq. Dia memegang kekuasaan setelah ayahnya dengan tidak disukai
oleh sebagian kaum muslimin dan diridlai oleh sebagian yang lain.
Dia memiliki keberanian dan kedermawanan dan tidak pernah menampakkan
kemaksiatan-kemaksiatan sebagaimana dikisahkan oleh musuh-musuhnya.

Namun pada masa pemerintahannya telah terjadi perkara-perkara besar
yaitu:

1. Terbunuhnya Al-Husein radhiyallahu 'anhu sedangkan Yazid tidak
memerintahkan untuk membunuhnya dan tidak pula menampakkan
kegembiraan dengan pembunuhan Husein serta tidak memukul gigi
taringnya dengan besi. Dia juga tidak membawa kepala Husein ke Syam.
Dia memerintahkan untuk melarang Husein dengan melepaskannya dari
urusan walaupun dengan memeranginya. Tetapi para utusannya melebihi
dari apa yang diperintahkannya tatkala Samardi Al-Jausyan
mendorong 'Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuhnya.Ibnu Ziyad pun
menyakitinya dan ketika Al-Husein radhiyallahu 'anhu meminta agar
dia dibawa menghadap Yazid, atau diajak ke front untuk berjihad
(memerangi orang-orang kafir bersama tentara Yazid -pent), atau
kembali ke Mekkah, mereka menolaknya dan tetap menawannya. Atas
perintah Umar bin Sa'd, maka mereka membunuh beliau dan sekelompok
Ahlul Bait radhiyallahu 'anhum dengan dhalim. Terbunuhnya beliau
radhiyallahu 'anhu termasuk musibah besar, karena sesungguhnya
terbunuhnya Al-Husein -dan 'Utsman bin 'Affan sebelumnya- adalah
penyebab fitnah terbesar pada umat ini. Demikian juga pembunuh
keduanya adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah. Ketika
keluarga beliau radhiyallahu 'anhu mendatangi Yazid bin Mua'wiyah,
Yazid memuliakan mereka dan mengantarkan mereka ke Madinah.

Diriwayatkan bahwa Yazid melaknat Ibnu Ziyad atas pembunuhan Husein
dan berkata: "Aku sebenarnya meridlai ketaatan penduduk Irak tanpa
pembunuhan Husein." Tetapi dia tidak menampakkan pengingkaran
terhadap pembunuhnya, tidak membela serta tidak pula membalasnya,
padahal itu adalah wajib bagi dia. Maka akhirnya Ahlul Haq
mencelanya karena meninggalkan kewajibannya, ditambah lagi dengan
perkara-perkara yang lain. Sedangkan musuh-musuh mereka menambahkan
kedustaan-kedustaan atasnya.

2. Ahlil Madinah membatalkan bai'atnya kepada Yazid dan mereka
mengeluarkan utusan-utusan dan penduduknya. Yazid pun mengirimkan
tentara kepada mereka, memerintahkan mereka untuk taat dan jika
mereka tidak mentaatinya setelah tiga hari mereka akan memasuki
Madinah dengan pedang dan menghalalkan darah mereka. Setelah tiga
hari, tentara Yazid memasuki Madinah an-Nabawiyah, membunuh mereka,
merampas harta mereka, bahkan menodai kehormatan-kehormatan wanita
yang suci, kemudian mengirimkan tentaranya ke Mekkah yang mulia
dan mengepungnya. Yazid meninggal dunia pada saat pasukannya dalam
keadaan mengepung Mekkah dan hal ini merupakan permusuhan dan
kedzaliman yang dikerjakan atas perintahnya.

Oleh karena itu, keyakinan Ahlus Sunnah dan para imam-imam umat ini
adalah mereka tidak melaknat dan tidak mencintainya. Shalih bin
Ahmad bin Hanbal berkata: Aku katakan kepada ayahku: "Sesungguhnya
suatu kaum mengatakan bahwa mereka cinta kepada Yazid." Maka beliau
rahimahullah menjawab: "Wahai anakku, apakah akan mencintai Yazid
seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir?" Aku bertanya:
"Wahai ayahku, mengapa engkau tidak melaknatnya?" Beliau
menjawab: "Wahai anakku, kapan engkau melihat ayahmu melaknat
seseorang?" Diriwayatkan pula bahwa ditanyakan kepadanya: "Apakah
engkau menulis hadits dari Yazid bin Mu'awiyyah?" Dia
berkata: "Tidak, dan tidak ada kemulyaan, bukankah dia yang telah
melakukan terhadap ahlul Madinah apa yang dia lakukan?"

Yazid menurut ulama dan Imam-imam kaum muslimin adalah raja dari
raja-raja (Islam -pent). Mereka tidak mencintainya seperti mencintai
orang-orang shalih dan wali-wali Allah dan tidak pula melaknatnya.
Karena sesungguhnya mereka tidak suka melaknat seorang muslim
secara khusus (ta yin), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Bukhari dalam Shahih-nya dari Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu:
Bahwa seseorang yang dipanggil dengan Hammar sering minum khamr.
Acap kali dia didatangkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam dan dicambuknya. Maka berkatalah seseorang: "Semoga Allah
melaknatnya. Betapa sering dia didatangkan kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Jangan engkau melaknatnya, sesungguhnya dia
mencintai Allah dan Rasul-Nya. " (HR. Bukhari)

Walaupun demikian di kalangan Ahlus Sunnah juga ada yang membolehkan
laknat terhadapnya karena mereka meyakini bahwa Yazid telah
melakukan kedhaliman yang menyebabkan laknat bagi pelakunya.

Kelompok yang lain berpendapat untuk mencintainya karena dia seorang
muslim yang memegang pemerintahan di zaman para shahabat dan
dibai'at oleh mereka. Serta mereka berkata: "Tidak benar apa yang
dinukil tentangnya padahal dia memiliki kebaikan-kebaikan,
atau dia melakukannya dengan ijtihad."

Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam (Ahlus
Sunnah), bahwa mereka tidak mengkhususkan kecintaan kepadanya dan
tidak pula melaknatnya. Di samping itu kalaupun dia sebagai orang
yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin mengampuni orang fasiq
dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikan-kebaikan
yang besar.

Tentara pertama yang memerangi Konstantiniyyah akan diampuni. (HR.
Bukhari)

Padahal tentara pertama yang memeranginya adalah di bawah pimpinan
Yazid bin Mu'awiyyah dan pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari
radhiyallahu 'anhu bersamanya.

Catatan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melanjutkan setelah itu dengan
ucapannya: "Kadang-kadang sering tertukar antara Yazid bin Mu'
awiyah dengan pamannya Yazid bin Abu Sufyan. Padahal sesungguhnya
Yazid bin Abu Sufyan adalah dari kalangan Shahabat, bahkan orang-
orang pilihan di antara mereka dan dialah keluarga Harb (ayah Abu
Sufyan bin Harb -pent) yang terbaik. Dan beliau adalah salah seorang
pemimpin Syam yang diutus oleh Abu Bakar ash-Shiddiq
radhiyallahu 'anhu ketika pembebasan negeri Syam. Abu Bakar ash-
Shiddiq pernah berjalan bersamanya ketika mengantarkannya, sedangkan
dia berada di atas kendaraan. Maka berkatalah Yazid bin Abu
Sufyan: "Wahai khalifah Rasulullah, naiklah! (ke atas kendaraan)
atau aku yang akan turun." Maka berkatalah Abu Bakar: "Aku tidak
akan naik dan engkau jangan turun, sesungguhnya aku mengharapkan
hisab dengan langkah-langkahku ini di jalan Allah. Ketika beliau
wafat setelah pembukaan negeri Syam di zaman pemerintahan Umar
radhiyallahu 'anhu, beliau mengangkat saudaranya yaitu Mu'awiyah
untuk menggantikan kedudukannya.

Kemudian Mu'awiyah mempunyai anak yang bernama Yazid di zaman
pemerintahan 'Utsman ibnu 'Affan dan dia tetap di Syam sampai
terjadi peristiwa yang terjadi. Yang wajib adalah untuk meringkas
yang demikian dan berpaling dari membi-carakan Yazid bin Mu'awiyah
serta bencana yang menimpa kaum muslimin karenanya dan sesungguhnya
yang demikian merupakan bid'ah yang menyelisihi ahlus sunnah wal
jama'ah. Karena dengan sebab itu sebagian orang bodoh meyakini bahwa
Yazid bin Mu`awiyah termasuk kalangan shahabat dan bahwasanya dia
termasuk kalangan tokoh-tokoh orang shalih yang besar atau imam-imam
yang adil. Hal ini adalah kesalahan yang nyata." (Diambil dari Majmu'
Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, jilid 3, hal. 409-414)

Bid'ah-bid'ah yang Berhubungan dengan Terbunuhnya Al-Husein

Kemudian muncullah bid'ah-bid'ah yang banyak yang diadakan oleh
kebanyakan orang-orang terakhir berkenaan dengan perisiwa
terbunuhnya Al-Husein, tempatnya, waktunya dan lain-lain. Mulailah
mereka mengada-adakan An-Niyaahah (ratapan) pada hari terbunuhnya Al-
Husein yaitu pada hari 'Asyura (10 Muharram), penyiksaan diri,
mendhalimi binatang-binatang ternak, mencaci maki para wali Allah
(para shahabat) dan mengada-adakan kedustaan-kedustaan yang
diatasnamakan ahlul bait serta kemungkaran-kemungkaran yang jelas
dilarang dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi
wa sallam serta berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Al-Husein radhiyallahu 'anhu telah dimuliakan oleh Allah subhanahu
wa ta'ala dengan mati syahid pada hari 'Asyura dan Allah telah
menghinakan pembunuhnya serta orang yang mendukungnya atau ridla
dengan pembunuhannya. Dan dia mempunyai teladan pada orang
sebelumnya dari para syuhada, karena sesungguhnya dia dan saudaranya
adalah penghulu para pemuda ahlul jannah. Keduanya telah dibesarkan
pada masa kejayaan Islam dan tidak mendapatkan hijrah, jihad, dan
kesabaran atas gangguan-gangguan di jalan Allah sebagaimana apa yang
telah didapati oleh ahlul bait sebelumnya. Maka Allah mulyakan
keduanya dengan syahid untuk menyempurnakan kemulyaan dan mengangkat
derajat keduanya.

Pembunuhan beliau merupakan musibah besar dan Allah subhanahu wa
ta'ala telah mensyari'atkan untuk mengucapkan istirja' (Inna lillahi
wa inna ilaihi raji'un) ketika musibah dalam ucapannya:

.... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orangyang sabar,
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: "Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka
itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari
Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-
Baqarah: 155-157)

Sedangkan mereka yang mengerjakan apa-apa yang dilarang oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam rangka meratapinya seperti
memukul pipi, merobek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan
jahiliyah, maka balasannya sangat keras sebagaimana diriwayatkan
dalam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu
'anhu, berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:

Bukan dari golongan kami, siapa yang memukul-mukul pipi, merobek-
robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah. (HR. Bukhari
dan Muslim)

Dalam hadits lain, juga dalam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-
Asy'ari radhiyallahu 'anhu, bahwa dia berkata: "Aku berlepas diri
dari orang-orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berlepas diri darinya, yaitu bahwasanya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam berlepas diri dari al-haliqah, ash-shaliqah dan
asy-syaaqqah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan dalam Shahih Muslim dari Abi Malik Al-Asy'ari bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Empat perkara yang terdapat pada umatku dari perkara perkara
jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya: bangga dengan
kedudukan, mencela nasab (keturunan), mengharapkan hujan dengan
bintang-bintang dan meratapi mayit. (HR. Muslim)

Dan juga beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya perempuan tukang ratap jika tidak bertaubat sebelum
matinya dia akan dibangkitkan di hari kiamat sedangkan atasnya
pakaian dari timah dan pakaian dada dari nyala api neraka. (HR.
Ahmad, Thabrani dan Hakim)

Hadits-hadits tentang masalah ini bermacam-macam. Demikianlah
keadaan orang yang meratapi mayit dengan memukul-mukul badannya,
merobek-robek bajunya dan lain-lain. Maka bagaimana jika ditambah
lagi bersama dengan itu kezaliman terhadap orang-orang mukmin (para
shahabat), melaknat mereka, mencela mereka, serta sebaliknya
membantu ahlu syiqaq orang-orang munafiq dan ahlul bid'ah dalam
kerusakan dien yang mereka tuju serta kemungkaran lain yang Allah
lebih mengetahuinya.

-----------
Maraji':

-Minhajus-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
-Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
-Al-'Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi Abu Bakar
-Ibnul Arabi dengan tahqiq dan ta'liq Syaikh Muhibbudin Al-Khatib.
-Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir.
-Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
-Shahih Muslim dengan Syarh Nawawi.
-Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar