Rabu, 14 Juli 2010

mata uang kesultanan buton

Uang yang sangat unik,yang dinamakan Kampua dengan bahan kain tenun ini merupakan satu2nya yang pernah beredar di Indonesia.Menurut cerita rakyat Buton,Kampua pertamakali diperkenalkan oleh Bulawambona,yaitu Ratu kerajaan Buton yang kedua,yang memerintaha sekitar abad XIV. Setelah ratu meninggal,lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut orang yang berjualan engambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona. Setelah selesai berjualan,para pedagang memberikan suatu upetiyang ditaruh diatas makam tersebut,yang nantinya akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton,bahkan sampai dengan tahun 1940.
Pada jaman bertahtanya Sultan Buton yang keempat,yaitu Sultan Dayan Ihsanudin (La’ Elangi),sekitar tahun 1597-1631 perdagangan di kerajaan Buton mengalami masa kejaan. Para pedagang dari daerah2 lain,termasuk pedagang2 dari Cina dan Portugis datang dengan kapal2nya ke kerajaan Buton. Mengingat bahwa semua transaksi di wilayah kerajaan Buton harus menggunakan uang Kampua,maka sebelumnya para pedagang tersebut harusmenukarkan uang uang mereka dengan uang Kampua. Penukaran dilakukan kepada Money Changer yang banyak terdapat di pelabuhan,ataupun di lokasi2 perdagangan. Setelah selesai berdagang,mereka boleh menukarkan sisa uang Kampua yang dimilikinya dengan mata uang yang diinginkan. Namun tentunya ada juga pedagang2 yang tidak menukarkan,tetapi menyimpan Kampua itu sebagai kenang-kenangan”Uang aneh” dari Buton.
Dalam proses pembuatan dan pered aran uang Kampua inimandat sepenuhnya diserahkan kepada Mentri Besar atau yang disebut “Bonto Ogena”.Dialah yang akan melakukan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua,baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Penghitungan mengenai situasi dan kondisi wilayah serta jumlah perkembangan penduduk yang ada,perlu diperhitungkan agar jumlah peredaran Kampua tetap dapat terkontrol dan tidak menimbulkan inflasi. Pengawasan oleh BontoOgena juga diperlukan agar tidak timbul pemalsuan2,sehingga hampir setiap tahunya motif dan corak Kapua akan selalu dirubah-rubah.
Setelah kain2-kain selesai ditenun,kemudian untuk dipotong2 untuk menjadi uangKampua. Pemotongan lembar kain menjadi Kampua itu juga ada prosedurnya yang juga ditentukan oleh Mentri Besar. Cara pemotonganya adalah dengan mengukur panjang dan lebar Kampua,dengan cara : Ukuran empat jari untuk lebarnya,dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan,untuk panjangnya. Sedangkan tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Mentri Besar atau “Bonto Ogena” itu sendiri! Oleh karenanya ukuran lebar dan panjang Kampua yangdiproduksi tidak selalu sama,tergantung dari panjang pendeknya ukuran tangan Mentri Besar yang saat itu berkuasa. Jika nantinya yang menjadi Mentri Besar mempunyai tangan yang pendek,maka ukuran Kampua akan menjadi pendek pula. Sebaliknya jika “Bonto Ogena” mempunyai tangan yang lebih panjang,maka hasil jadi Kampua akan menjadi lebih panjang,sesuai dengan ukuran tanganya.
Pada awal pembuatanya,standard yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu “bida” (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Namun dalam perkembangan selanjutnya,standard ini diganti dengan nilai “Boka”,dimana satu Bida sama dengan 30 Boka. Ka adalah suatu standard nilai yang umum digunakan oleh masyarakat Buton,yang biasanya digunakan pada waktu upacara2 adat perkawinan,kematian,dan sejenisnya.
Namun setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira2 tahun 1851,fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang2 buatan “Kompeni”. Sampai akhirnya nilai Kampua menjadi sangat tidak berarti,dimana pada waktu itu nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 sen duit tembaga,atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 sen saja!. Walaupun demikian Kampua tetap digunakan pada desa2 tertentu diKepulauan Buton sampai dengan tahun 1940.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar